Guru Sebagai Fasilitator

Guru adalah orang yang sangat disegani dan dhormati. Saat guru berbicara, maka tak ada satupun yang berani membantah. “Menunduk dan malu” adalah sikap yang ditunjukan siswa ketika bertemu dengan guru. Yang ada hanyalah rasa malu dan takut, saat harus berhadapan dengan guru. Itulah gambaran tentang guru dimasa lalu. Ada sekat yang sangat lebar antara siswa dan guru.

Namun saat ini hal tersebut telah banyak berubah. Guru bukan lagi menjadi sosok yang menakutkan. Ini terjadi karena berubahnya sistem pembelajaran. Guru bukan lagi berperan sebagai pengajar materi di kelas, namun lebih sebagai fasilitator bagi siswa dalam belajar. Tak ada lagi kata teacher center yang ada adalah student center.

Hal ini tentu saja membawa perubahan yang baik bagi perkembangan pendidikan di Indonesia. Adanya ruang bagi siswa untuk berbicara dan berpendapat membuat suasana belajar tidak lagi kaku. Selain itu, sistem pembelajaran ini juga menghilangkan sekat yang lebar antara siswa dan guru. Diharapkan dengan sistem komunikasi dua arah, akan lebih memajukan sistem pendidikan di Indonesia.

Semua yang dilakukan memanglah demi kemajuan anak bangsa. Namun ternyata membangun kedekatan dengan siswa bukanlah hal yang mudah. Banyak guru yang kebablasan dalam membangun kedekatan secara emosinal dengan siswa. Yang pada akhirnya, membuat siswa melupakan”unggah-ungguh” kepada guru.

Tak ada lagi wibawa seorang guru di mata siswa karena kedekatan mereka. Hal ini dtunjukan dengan semakin banyaknya siswa yang menggunakan gaya bahasa yang sama ketika berbicara terhadap teman maupun guru. Semakin banyak siswa yang membantah perkataan guru walaupun apa yang guru katakana itu benar. Semakin banyak protes-protes kurang penting yang siswa lontarkan kepada guru, misalnya, siswa meminta guru untuk tidak mengajar. Banyak pula siswa yang bereani membentak guru saat dinasehati. Selain itu jika kita salah melakukan pendekatan kepada siswa, maka yang terjadi adalah tidak kondusifnya kegiatan belajar-mengajar siswa di kelas. Guru menjadi tidak diperhatikan karena siswa meremehkan guru.

Memang bukan hanya salah pendekatan yang membuat siswa tidak terkontrol. Buruknya tayangan sinetron TV dan kemajuan teknologi terutama social media juga memiliki pengaruh yang besar terhadap perubahan sikap siswa. Namun dengan pendekatan yang salah bisa memperparah kebiasaan buruk siswa.

Lantas bagaimana? Tentu kita harus tetap membangun kedekatan emosional dengan siswa, tetapi harus memiliki batasan-batasan tertentu. Yang perlu diperhatikan oleh guru misalnya ketika berkomunikasi dengan siswa guru tetap menggunakan bahasa Indonesia yang baik. Beri siswa kebebasan untuk berpendapat namun diarahkan cara menyampaikan pendapat yang sopan. Guru juga sebaiknya memberi tauladan yang baik bagi siswa sehingga siswa akan tetap menghargai guru.

Dengan cara ini, guru bukanlah menjadi sosok yang perlu ditakuti, tapi bukan pula teman yang bisa siswa remehkan. Dengan membuka komunikasi yang baik dengan siswa maka akan membangun cara pembelajaran yang lebih baik. Siswa akan lebih berani dan aktif dalam kelas sehingga kemampuan siswa baik secara akademik maupun sikap akan berkembang.


Share, comment and enjoy!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *